Monday, January 29, 2007

Memberilah..maka kita akan diberi..

mengutip kiriman email dari temenku :
kata ustadz Masrukhul Amri
"hidup itu, memberi…. memberi …..memberi …. dan memberi Maka, nanti akan menerima … menerima … menerima … menerima … dan menerima.
Memberi satu … akan mendapatkan pantulan menerima banyak, apalagi memberi banyak, maka akan mendapatkan pantulan tak terbatas."

aku suka dengan petikan diatas. Sangat benar sekali!!
aku pernah baca buku, bahwa cara membuat kita bahagia dari hari ke hari salah satunya dengan banyak memberi kepada orang lain. Memberi apapun yang kita miliki untuk membuat orang lain tersenyum..dan sudah aku buktikan ternyata kebahagian yang luar biasa ketika kita bisa memberi manfaat buat ornag lain dengan ikhlas..semata2 mengharap hadiah dari Allah..

Namun, terkadang tidak mudah untuk memberi..hambatan utamanya adalah PENYAKIT HATI yang tidak ikhlaslah, pengen dibalaslah, dan lah..lah yang lain.
Terkadang kita terlalu cemburu akan nikmat yang orang lain terima, sehingga ketika kita memperoleh nikmat, maunya yaa..dinikmati sendiri..mikirnya "khan orang lain dah punya jalan sendiri-sendiri.." ehm..mana boleh kayak gitu ya ga??

bukankah membuat orang yang tidak beruntung tersenyum adalah kewajiban bagi yang beruntung..
bukankah hidup akan bermakna jika bermanfaat bagi ornag lain, bukan memanfaatkan ornag lin..
bukankah keindahan hidup ini di berikan pada kita oleh Allah, agar kita mensyukurinya dengan berbagi dengan orang lain..
dan..
bukankah Syurga itu terlalu luas unutk kita nikmati sendiri..

mungkin masih banyak orang yang lebih pintar dari pada kita..
mungkin masih banyak orang yang lebih baik dari pada kita..
mungkin masih banyak orang yang lebih kaya dari pada kita..
mungkin masih banyak orang yang lebih pantas dari pada kita..
Namun mengapa Allah masih memilih kita untuk bisa memberi kepada orang lain...

padahal..

ilmu kita hanya sedikit, harta kita ga banyak..


jadi, kalo kita pikir, bisa memberi adalah nikmat luar biasa yang Allah berikan untuk kita..
itu menandakan bahwa Allah mencintai kita melebihi cinta kita padaNya..

Ayo..jangan berhenti untuk memberi selama kita memiliki..
Let's Smile like THIS :)

Sunday, January 21, 2007

I cried for my brother six times

Cerita yang membuatku menangis, kangen banget ama adikku..


I cried for my brother six times

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut
di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis
lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut
masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk
ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik,hasil yang
begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya
mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai
selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang
yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.


Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"

Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan
mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa
pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya,
ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak
dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku
dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk
rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi
sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan
saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan
satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh
itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca
yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari
itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah
adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti
sungai. (Dari "I cried for my brother six times)

Friday, January 12, 2007

AINA TAT HABUN???

Dari judulnya sih kayaknya bahasa arab yang artinya "Kemanakan kamu akan pergi??"
mungkin bagi sebagian orang biasa ajha dengan nih kata..but kalo kita mau berpikir bentar ajha..
sebenarnya kemana sih kita akan pergi??mudahnya, apa sih tujuan kita..

kita kuliah, belajar, bekerja, mengumpulkan harta, beribadah, dll.. sebenarnya pa sih tujuan kita??? udah mengorbankan waktu, tenaga bahkan terkadang jiwa untuk mendapatkan keinginan kita, sebenarnya aina tat habun??

Ayo..segera temukan jawabannya, kemana sih sebenarnya kita kan pergi.. kehmm..kalo aku sih..pengennya pergi ke surga..tapi kata seorng ustad kita jangan mengatakan ingin masuk surga..but..
Kita harus masuk surga...

Thursday, January 11, 2007

Sepenggal perjalanan..

ehm..Alhamdulillah..masih diberi kesempatan untuk nulis lagee..

abiz kul..wisuda..trus job seeker..truz..kerja..trus nikah..trus have some nice childreen..trus...
Yup..terkadang kita sangat pandai merencanakan kehidupan duniawi kita.
sangat mudah merangkai cita2 dan mewujudkan kehidupan di bumi yang sebenarnya begitu cepat..
Ga nyangka dah lulus kuliah..ga terasa umur bertambah tua..anehnya diri sempat merasa baru kemarin masuk kuliah, kayaknya baru kemarin menjadi mahasiswa dengan idealismenya..
Fuihh..capek..letih ngurusin dunia..dunia..dunia..

Allah..ampuni aku, dunia emang indah..harta, tahta dan manusia adalah fitrah untuk kita cintai.. tapi diriMu tak menginginkan semuanya melebihi cinta kepadaMu..
Aku masih disini, hati ini masih bersamaMu..karena hanya dengan mengingat kebersamaan denganMu, keletihanku mengurus dunia terobati... mendinginkan pikiranku ketika mulai panas akan kecemasan masa depanku, kecemasan hidup di DUNIA again.. Fuhh...capek deh..

Bagaimana dengan akhiratku ya??????
katanya Muslim..koq cita2nya sebatas di dunia sih??
kan dunia hanya persinggahan..bekal akhiratnya mana??
Cita2 masa depan seharusnya bukan di dunia donk..tapi di akhirat, kan kehidupan abadinya di akhirat..ehmm..cerdasss..gitu donk mikirnya..

LAntas???


Let's Smile like THIS :)